Surveytime - Take Online Surveys and Earn USD 1 Instantly

19 Juni 2011

Lihatlah Ke Bawah

0 comments
Manusia hidup oleh masalah. Masalah memberikan nuansa perjuangan, turun naiknya kondisi, pemahaman tentang situasi. Karena masalah membuat orang menggunakan akal, hati, dan pengendalian nafsunya, yang merupakan komponen dari jiwa manusia. Kita perlu mencicipi rasa sakit, susah, dan sedih untuk menyadarkan kita dari kondisi terlalu nyaman yang memabukkan dan membuat kita lupa diri dan visi hidup. Masalah pula membuat otak mesti berpikir untuk mencari jalan keluar dan alternatif - alternatif penyelesaian dari masalah tersebut. Masalah membuat manusia mesti bertanya kepada dirinya sendiri dan melawan dirinya sendiri, mengalahkan dirinya sendiri. Jika nafsu menguasai dirinya, maka pilihan instan untuk lari dari masalah pun muncul. Perang terhadap diri sendiri adalah memang perang paling panjang yang manusia hadapi dalam hidupnya. Perang seumur hidup yang hampir semua orang tak menyadari siapa pemenangnya.

Masalah diri sendiri harus diatasi oleh diri sendiri, sedangkan masalah antar manusia dapat diselesaikan dengan komunikasi. Konflik antara dua pihak atau dua golongan dapat selesai ketika keduanya bertemu dan berbicara, tentunya dengan niat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Kesalahpahaman justru terjadi karena kegagalan dua pihak dalam berkomunikasi.

Saat kita diterpa banyak masalah, seringkali banyak dari kita merasa berada pada kondisi terburuk atau jatuh ke posisi terbawah. Jika seperti itu, pesimisme lah yang akan muncul, lalu tidak akan terpikir penyelesaian dan kita akan lari kepada hal - hal yang sebenarnya malah memperburuk keadaan, menyakiti diri sendiri. Saat diterpa berbagai masalah, lihatlah orang - orang lain. Masih banyak yang keadaan mereka lebih buruk daripada kita. Pergilah ke tengah - tengah masyarakat kecil. Berbicara lah dengan mereka. Kita akan tahu, bahwa keadaan kita lebih baik dari mereka.

2 hari yang lalu, aku berbicara dengan seorang Nenek pemilik warung makan kecil di sebuah jalan di Bandung. Beliau baru saja pindah dari tempat berjualan lamanya karena kontraknya telah habis. Bercerita panjang lebar dengan beliau, tentang kesusahan dan perjuangan, aku yang tadinya merasa pusing dengan keadaan yang aku alami saat ini, menjadi merasa memiliki energi positif yang besar.

"Aku harus terus berjuang sehingga segera dapat mensejahteraan keluargaku dan orang - orang seperti ini." pikirku.

Aku memang senang bercerita dengan masyarakat kecil ketika aku merasa memiliki masalah yang berat. Berbicara dengan 'orang - orang susah' membuat aku merasa memiliki nasib yang sama, bahkan lebih baik, daripada mereka. Walaupun aku tak mengenal mereka, pelajaran kearifan dan kebijaksanaan itu justru aku temui di tengah - tengah masyarakat itu. Sesekali, aku bercerita dengan tukang roti pikul, berbicara dengan penjual tahu gejrot di taman Ganesha, ngobrol dengan penjual cakue di pojok Jalan Tubagus Ismail, tukang bubur di pojok Jalan Ganesha, tukang gorengan di Jalan Taman Sari, dll.

Awal aku menjadi suka berbicara dengan rakyat kecil adalah pada suatu hari aku berbicara dengan seorang nenek yang di usia senjanya beliau masih berjualan lotek di pasar simpang Dago. Beliau telah susah berjalan, karena penyakit rematiknya yang sudah cukup parah, sehingga menggunakan tongkat untuk membantu pergerakannya. Tapi beliau masih mendorong gerobak loteknya yang berat menempuh belasan kilometer! Pada kesempatan itu, aku bertanya apakah kenaikan BBM (waktu masa-masa awal kenaikan BBM dulu) membuat beliau dan keluarganya makin susah atau tidak. Bukan hanya jawaban 'iya' yang keluar dari beliau, tapi seluruh cerita - cerita tentang kesusahan dirinya dan keluarganya yang diceritakannya.

"Bapak lumpuh, sudah nggak bisa apa - apa lagi selain tiduran di kasur. Jadi, Ibu berjualan lotek untuk beli obat Bapak, juga untuk makan sehari - hari. Ya, walaupun dari lotek juga nggak dapat banyak. Anak - anak Ibu juga susah, tapi mereka juga berusaha membantu Ibu dan Bapak semampunya." ujar beliau dengan air mata yang menetes. Aku merasa terenyuh karena orang - orang yang mengalami kesusahan dan kemiskinan seperti ini masih banyak di negeri kita. Karenanya, waktu itu aku bertekad, berniat, dan berusaha agar suatu saat kelak akan kembali kepada mereka untuk memajukan mereka, meningkatkan kesejahteraan kita bersama. Di sisi lain, aku merasa bersyukur atas keadaanku yang jauh lebih baik dibanding mereka. Karena itu aku tak boleh mengeluh, apalagi merasa posisi dan kondisiku adalah yang paling buruk.

Di ujung pembicaraan beliau berkata, "Ibu senang sekali sama anak - anak mahasiswa, masih peduli dengan masyarakat kecil seperti Ibu ini. Ibu hanya bisa berharap kepada anak - anak mahasiswa. Semoga tercapai cita - cita ya, Nak. Semoga berhasil kuliahnya."

"Amiin." dalam hatiku. Saat itu, aku lantas mencium tangan beliau dan memeluk beliau. Sambil menahan tangis, disertai dengan tekad dan niat yang muncul menggebu - gebu di hati.

Pembicaraan itu aku alami sekitar hampir 4 tahun yang lalu, saat aku masih mahasiswa tingkat pertama di ITB. Kini, aku tak melihat lagi Ibu itu berjualan di tempat yang dulu. Apakah beliau telah berpindah tempat berjualan, ataupun beliau telah menemui Yang Maha Kuasa, yang pasti dari pembicaraan itu lah awal cita - cita idealisku muncul.

Kawan, kita mesti punya cita - cita untuk menjadi solusi bagi permasalahan - permasalahan di masyarakat. Malas sekolah tidak apa, asal jangan malas belajar. Belajar di segala lini kehidupan. Malas belajar dan tak punya cita - cita itu tak bisa ditoleransi.

Orang waras di tengah kumpulan orang gila, siapakah yang dianggap gila? Seorang idealis dan pejuang sejati di tengah orang - orang korup, maka siapakah yang akan mati? Karena itu kawan, mari kita perbaiki diri. Mari bersama -sama kita bangun visi, bangun diri, bangun karakter dari sekarang. Mari bersama - sama bangun niat tulus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak semata - mata mencari kesejahteraan pribadi. Agar di masa depan, semakin banyak orang idealis, dan semakin sedikit orang - orang korup. Atau setidaknya seimbang lah jumlah kita. Supaya tak lagi kita dengar pembunuhan karakter dan penyingkiran terhadap orang - orang yang benar. Solidaritas hari ini, adalah untuk perjuangan masa depan.


Dani Andipa Keliat
19 Juni 2011




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Outbound Training Program for Corporate
DomaiNesia